Penelitian dan pemantauan gunung api
sangat penting untuk mendapatkan data-data dalam usaha untuk memahami dinamika
gunung api, memprediksi aktivitas vulkanik gunung api, yang pada akhirnya
digunakan untuk menentukan kebijakan mitigasi yang tepat.
Penelitian dan pemantauan tersebut
dilakukan dari berbagai bidang ilmu seperti geologi, geofisika, dan geokimia.
Metode penelitian dan pemantauan secara
geokimia dilakukan baik terhadap contoh gas, air, maupun batuan/abu. Dari
ketiga contoh tersebut, penelitian terhadap contoh gas gunung api memainkan peranan yang sangat penting
dalam kegiatan pemantauan gunung api. Hal ini karena gas memiliki mobilitas
yang paling tinggi. Ketika
terjadi kenaikan aktivitas di
kantong magma, gas lah yang paling cepat keluar ke permukaan baik melalui solfatara maupun fumarol.
Untuk mendapatkan data-data yang representatif,
metode sampling dan analisis memainkan peranan yang sangat penting. Hasil
pengujian kimia yang baik tidak terlepas dari penerapan metode pengambilan
contoh yang baik pula. Untuk itu pengambilan contoh yang baik sangat
diperlukan.
Isotop Stabil Air (δD dan δ18O) untuk Pengamatan Aktivitas Gunung Api
Isotop Hidrogen dan Oksigen merupakan unsur-unsur penting dalam siklus hidrologi. Hidrogen memiliki 2 isotop stabil, yaitu 99,98% 1H
dan 0,02% 2H (Deuterium/D). Sedangkan Oksigen memiliki 3 isotop stabil, yaitu
99,76% 16O, 0,04% 17O, dan 0,2% 18O. Isotop hidrogen (1H) dan oksigen (18O)
merupakan
penyusun utama air (H2O). Isotop-isotop yang lebih berat, 2H dan 18O memiliki kelimpahan relatif
lebih kecil bila dibandingkan dengan isotop yang lebih ringan (1H
dan 18O).
Dalam siklus hidrologi, senyawa air
dengan komposisi isotopnya, mengalami fraksinasi akibat proses evaporasi dan
kondensasi. Senyawa yang mempunyai berat molekul besar seperti H2O (dengan 2H) dan H2O (dengan 18O)
lebih sukar menguap tetapi lebih mudah terkondensasi
sehingga pada berbagai jenis air kandungan isotop 18O dan D
mempunyai rasio yang berbeda-beda. Perbedaan elevasi turut berperan dalam
fraksinasi isotop air. Semakin tinggi elevasi, semakin kecil komposisi D dan 18O.
Perbedaan isotop 18O
dan 2H yang signifikan di antara berbagai jenis air tersebut menjadikan
kedua isotop tersebut dapat
digunakan untuk menentukan asal-usul
air. Interaksi antara air dan batuan juga turut mempengaruhi komposisi isotop 18O.
Air yang telah berinteraksi dengan batuan di dalam bumi akan memiliki isotop 18O
yang lebih banyak dibandingkan air meteorik
lokalnya.
Menurut para ahli, magma didefinisikan sebagai cairan silikat
kental yang pijar terbentuk secara alamiah, bertemperatur tinggi antara 1.500–
2.5000C dan bersifat mobile (dapat
bergerak) serta terdapat pada kerak bumi bagian bawah. Dalam magma tersebut
terdapat beberapa bahan yang larut, bersifat volatile (air, CO2, chlorine, fluorine,
iron, sulphur, dan lain-lain) yang merupakan
penyebab mobilitas magma, dan non-volatile (non-gas) yang merupakan pembentuk mineral yang lazim dijumpai dalam batuan
beku (https://id.wikipedia.org/wiki/Batuan_be
ku).
Air magmatik sebagai salah satu
penyusun magma memiliki komposisi isotop stabil air (δD dan δ18O)
yang berbeda dengan air meteorik/air permukaan. Air magmatik dari suatu gunung
apipun akan berbeda bergantung pada proses pembentukan gunung api tersebut.
Gunung api yang terdapat di Indonesia terbentuk pada zona subduksi, dimana
lempeng samudera menunjam lempeng benua. Pada proses ini dimungkinkan
terjadinya infiltrasi dari air laut
ke dalam magma yang terbentuk. Sehingga gunung api pada zona subduksi ini
memiliki komposisi isotop D dan 18O yang lebih diperkaya
akan kandungan isotop deuterium dibandingkan dengan primary magmatic water.
Gas-gas vulkanik yang keluar ke permukaan,
selain membawa komponen fluida gas dari magma, ia juga turut membawa fluida
yang dilewatinya, seperti misalnya akuifer. Perubahan aktivitas akan berpengaruh terhadap
kadar dari komposisi fluida gas tersebut, termasuk isotop δD dan δ18O
yang terdapat dalam uap air. Sehingga komposisi isotop δD dan δ18O
dapat digunakan untuk pemantauan aktivitas vulkanik gunung api.
Metode Pengambilan Contoh Kondensat Untuk Analisis Isotop δD dan δ18O
Pengambilan contoh air untuk
keperluan analisis isotop δD dan δ18O yang paling baik dilakukan
pada manifestasi semburan gas vulkanik solfatara maupun fumarol dan yang
memiliki temperatur dan tekanan yang besar. Hal ini untuk mengurangi adanya
kontribusi dari air meteorik yang turut mempengaruhi komposisinya.
Pengambilan contoh untuk analisis isotop δD dan δ18O ini dilakukan dengan mengumpulkan contoh kondensat dari semburan gas vulkanik seperti solfatara maupun fumarol. Skema umum sampling dan analisis gas vulkanik dapat dilihat pada gambar 1. Pengambilan contoh kondensat ini hampir sama dengan pengambilan contoh gas dengan tabung Giggenbach, namun dalam pengambilan contoh isotop stabil air ini, uap air ditampung dalam tabung berpendingin.
Ketika gas keluar dari solfatara yang memiliki temperatur tinggi ke atmosfer, uap air akan mengalami kondensasi. Kondensat uap air tersebut dapat dikumpulkan dengan menggunakan condenser yang dibantu dengan pompa hisap. Untuk mencegah uap air keluar dari tabung kondenser, tentunya diperlukan sistem pendinginan yang cukup memadahi. Namun pada kenyataannya, pada lokasi yang sulit, seperti di kawah yang berada di puncak gunung, kadang kala sangat susah membawa pendingin seperti es dalam jumlah yang cukup. Untuk itu diperlukan cara meminimalkan uap air yang keluar. Dua buah tabung kondenser digunakan untuk tujuan ini. Hal ini penting karena adanya uap air yang tidak terkondensasi dan lolos melewati kondenser menyebabkan komposisi kondensat hasil sampling tidak mewakili komposisinya sebelum keluar dari solfatara/fumarol. Isotop yang memiliki masa atom lebih ringan akan lebih mudah menguap, sehingga uap air yang tidak terkondensasi dan lolos melewati kondenser akan lebih banyak mengandung komponen isotop yang lebih ringan. Hal ini menyebabkan kondensat H2O akan lebih diperkaya oleh isotop berat dari pada kondisinya semula. Pada gambar 2 dan 3 berikut merupakan rangkaian alat pengambilan contoh kondensat dari fumarol/solfatara.
Pengambilan contoh untuk analisis isotop δD dan δ18O ini dilakukan dengan mengumpulkan contoh kondensat dari semburan gas vulkanik seperti solfatara maupun fumarol. Skema umum sampling dan analisis gas vulkanik dapat dilihat pada gambar 1. Pengambilan contoh kondensat ini hampir sama dengan pengambilan contoh gas dengan tabung Giggenbach, namun dalam pengambilan contoh isotop stabil air ini, uap air ditampung dalam tabung berpendingin.
Gambar 1. Metode pengambilan contoh gas dan kondensat
Gambar 2. Rangkaian
alat pengambilan contoh kondensat
Gambar 3. Pengambilan
contoh gas dan kondensat fumarol di Kawah Sibanteng, Dieng
Pada pengambilan contoh kondensat
ini pompa hisap digunakan untuk mempercepat
proses sampling. Tekanan udara di tabung kondenser yang rendah akan membuat gas
mengalir lebih cepat dari sumber dengan tekanan udara tinggi ke tabung kondenser yang memiliki tekanan udara lebih rendah. Contoh kondensat yang telah
terkumpul dalam tabung condenser tersebut selanjutnya disimpan dalam botol HDPE (High Denity
Polyethilene) hingga penuh tanpa ada gelembung kemudian ditutup dengan
rapat. Contoh kondensat selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis
isotop δD dan δ18O. Analisis isotop δD dan δ18O contoh kondensat dapat
dilakukan dengan menggunakan
Spektrometer massa maupun laser.
Referensi
Sampling Procedures for Isotope Hydrology, IAEA
Sampling Procedures for Isotope Hydrology, IAEA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar